MATI TUMBUHNYA KOMUNITAS SASTRA


MEMASUKI tahun 1980-an kehidupan sastra di Bandung, khususnya dalam bidang penulisan puisi digerakan oleh komunitas-komunitas sastra, yang para aktivisnya rela mengeluarkan uang untuk kegiatan tersebut. Sebelum Kerabat Pengarang Bandung (KPB) berdiri yang dimotori oleh penyair Yessi Anwar dan Diro Aritonang, Anton de Sumartana terlebih dahulu mendirikan komunitas Swawedar 67 yang aktif menyelenggarakan kegiatan baca dan diskusi puisi di GK Rumentang Siang Bandung. Selain itu, malah kelompok ini aktif pula menerbitkan antologi puisi.

”Pada saat itu Anton de Sumartana cukup aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan kesenian di Bandung. Malah yang digarapnya bukan hanya sastra, tetapi juga pertunjukan teater. Kegiatan tersebut di luar kegiatan sastra yang diselenggarakan oleh para penyair kampus,” kenang Juniarso Ridwan, yang pada saat mahasiswa pernah aktif di Grup Apresiasi Sastra (GAS) ITB. Grup ini melahirkan Gerakan Puisi Bebas yang mengutamakan kekuatan rupa sebagai andalan senjata daya komunikasinya.

Kegiatan serupa dilakukan pula oleh Diro Aritonang dan Yessi Anwar dengan mendirikan Kerabat Pengarang Bandung (KPB). Acara-acara yang digelar oleh kelompok ini, selain menggelar acara tahunan seperti Festival Desember yang dipusatkan di GK Rumentang Siang, juga menyelenggarakan acara bulanan, yakni mengundang para penyair Bandung untuk membacakan puisi-puisinya di GK Rumentang Siang.

Seusai acara baca puisi, para penyair yang diundang itu diuji kemampuan daya intelektualnya dengan cara diberondong dengan berbagai pertanyaan yang cukup menyakitkan. Pertanyaan-pertanyaan yang galak itu, ada kalanya membuat si penyair atau calon penyair itu mati kutu di depan forum.

”Kegiatan semacam ini untuk proses pendewasaan. Penyair jangan hanya bisa menulis puisi, tetapi harus bisa pula mempertahankan konsep-konsep estetik yang ditulis dalam puisinya,” begitu kata Yessi Anwar saat membuka acara baca puisi Niniet Rajab di tahun 1980-an. Niniet, termasuk salah seorang penyair Bandung yang cukup produktif, di samping Wahyu Goemilar, Iwan Soekri Moenaf, Acep Zamzam Noor, Beni Setia, Giyarno Emha, dan sejumlah penyair lainnya.

Kerabat Pengarang Bandung hidup hanya beberapa tahun. Sebagian besar anggotanya kemudian mendirikan Kelompok Sepuluh di bawah pimpinan Moh. Ridlo E’isy dan Herry Dim. Kelompok ini selain menyelenggarakan acara baca puisi dan menerbitkan kumpulan puisi, yang paling utama adalah menyelenggarakan acara diskusi, baik mengenai politik, sastra, ekonomi, agama, maupun filsafat.

Dalam kelompok inilah Nirwan Dewanto mulai tampil, begitu juga Kurnia Effendi, Miranda Risang Ayu, Hikmat Goemilar, Fajroel Rachman, Arya Gunawan, dan beberapa kawan lainnya.

Hampir sebagian besar acara-acara sastra yang berskala lokal maupun nasional yang diselenggarakan oleh Kelompok Sepuluh pada waktu itu mendapat dukungan dari HU Pikiran Rakyat. Bahkan artikel-artikel yang akan didiskusikan terlebih dahulu dimuat di HU Pikiran Rakyat.

Salah satu acara sastra yang pernah diselenggarakan oleh Kelompok Sepuluh adalah acara diskusi ”Sastra Kontekstual” dengan pembicara antara lain Abdul Hadi W.M., Afrizal Malna, Ariel Heryanto, dan beberapa pembicara dari Bandung.

Kelompok ini pun berhenti dengan sendirinya, seiring dengan kepindahan beberapa aktivisnya ke Jakarta karena tuntutan nasib. Dalam kekosongan semacam itu, memasuki pertengahan tahun 1990-an, penyair Juniarso Ridwan dan Agus R. Sardjono dengan dukungan Herry Dim, penyair Sanento Juliman, Jeihan Sukmantoro, dan Mamannoor mendirikan Forum Sastra Bandung (FSB). Kelompok ini sempat memberikan penghargaan sastra kepada penyair Saini K.M. yang dinilai berhasil ”melahirkan” banyak penyair baru di Bandung khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

Sama seperti kelompok sebelumnya, acara yang diselenggarakan oleh FSB selain menerbitkan buku puisi, juga mengundang para penyair dari luar Kota Bandung untuk membaca puisi di Bandung. Forum ini boleh dibilang cukup hidup dengan pusat kegiatan antara lain di GK Rumentang Siang.

Tentu saja di luar komunitas tersebut di atas, masih ada komunitas-komunitas lainnya yang hingga kini masih menghidupkan sastra di Bandung, baik sastra Sunda maupun sastra Indonesia. Semua ini menunjukkan bahwa Kota Bandung pada satu sisi cukup memberikan kemungkinan kepada para penulisnya untuk berkarya seni. Dan FSB seperti juga kelompok lainnya, saat ini dalam keadaan hidup tidak mati pun tidak. Namun demikian, para aktivisnya masih terus menulis karya sastra. (Soni Farid Maulana)

Tulisan ini dikutip dari Harian Pikiran Rakyat (Bandung), 30 Oktober 2007.

Tinggalkan komentar