PSK DAN ORANG-ORANG MALIOBORO


Bukan karena ingin kembali ke masa lalu, kalau Rabu (11/5) Persada Studi Klub (PSK) meluncurkan buku ‘Orang-orang Malioboro: Refleksi dan Pemaknaan Kiprah Persada Studi Klub 1969-1977 di Yogyakarta’. Sebagai bagian dari sejarah sastra, menurut catatan Iman Budhi Santosa buku ini menjadi penting untuk mendokumentasikan kiprah PSK selama kurun waktu hampir 20 tahun.
Budayawan almarhum Prof Kuntowijoyo pernah berpesan supaya sejarah PSK ditulis bukan hanya oleh sedikit orang, tetapi banyak orang, sehingga menepis subjektivitas. Maka hadirlah buku yang diterbitkan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, 2010. Banyak penulis bersaksi menuliskan pengalaman dan proses selama bergaul di dalam PSK bersama Umbu Landu Paranggi.
Itupun belum seluruhnya terekam dalam buku Orang-orang Malioboro ini, karena para pelaku dan kiprah yang dilakukan PSK-wan tidak sekadar kegiatan sastra. Tetapi bagaimana memaknai kehidupan itu menjadi selaras. Sebagai tempat untuk diskusi PSK ini menurut catatan wartawan Pelopor Jogja, Teguh Ranusastra Asmara, memang unik, komunitas tanpa ketua, sekretaris atau bendahara.
Termasuk Umbu Landu Paranggi penjaga gawang PSK yang menjadi rubrik di Pelopor Jogja, Presiden Malioboro lebih suka disebut Lurah Malioboro ini selain unik juga misterius. Suparno S Adhy mencatat kepergian Umbu meninggalkan Malioboro, pada awal-awalnya tidak meninggalkan jejak, misterius. Belakangan baru diketahui Umbu dipaksa pulang kampung di Sumba, sabana tandus tempatnya dilahirkan.
Korrie Layun Rampan yang sama-sama penulis menerima penghargaan nasional ‘Citra Dharma Pustaloka’, sebagai penulis/ sastrawan dalam memasyarakatkan perpustakaan dan minat baca dari Perpustakaan Nasional RI, 8 Juni 2010 menilai Umbu sebagai bidan dua angkatan sastra modern. Sosok Lurah Malioboro ini telah tampil sebagai inspirator dan motivator bagi para penulis pemula pada zamannya. Penulis sendiri lebih banyak menulis cerita anak-anak ketimbang puisi, setelah mendapat inspirasi dan semangat dari Umbu Landu Paranggi, sehingga mengalirlah cerita anak-anak yang muncul di Majalah Gatotkaca (KR Group), Kawanku, Si Kuncung, suratkabar Kompas, Sinar Harapan, penerbit Gramedia, Pustaka Jaya, Septenarius dan sebagainya. Jejak ini diikuti Ragil Suwarno Pragolapati, Suyono Ahmad Suhadi.
Ditunggu-tunggu
Wesel yang datang setiap minggu selalu ditunggu-tunggu sebagian orang-orang Malioboro, karena dari kiriman honor dari Jakarta ini bisa untuk meramaikan warung nasi bawah pohon waru di Jalan Pasar Kembang tak jauh dari markas PSK. Umbu sangat menikmati makan nasi sayur lodheh gori atau kluwih bersama dengan bau keringat tukang becak yang sama-sama menongkrongi warung nasi lodheh ini.
Dari royalti buku dapat untuk membeli mesin ketik dan kamera, sehingga lebih memuluskan lagi bagi Orang-orang Malioboro dalam menjalani profesinya sebagai wartawan. Membesarkan pusat dokumentasi sastra seperti yang dirintis oleh PSK-wan Suwarno Pragolapati yang diteruskan istrinya Menik Sugiyah yang juga penyair, dilanjutkan pelestariannya oleh keponakannya Jayadi K Kastari.
Dari PSK telah melahirkan banyak profesional kepenulisan, Ashadi Siregar sebagai novelis, dramawan Untung Basuki, musisi Ebiet G Ade, pengamen dan wartawan Deded Er Moerad, wartawan Teguh Ranusastra Asmara dan penulis sendiri, penyair dan sastrawan Sutirman Eka Ardana, Jabrohim, Iman Budi Santosa, Mustofa W Hasyim, bahkan ada yang kemudian menjadi duta bangsa seperti Faisal Ismail, jadi guru besar dan dosen.
PSK merupakan lintas pergaulan bagi siapa saja, sehingga pada waktu itu muncul istilah poros Bulaksumur, Malioboro, Gampingan. Untuk kegiatan diskusi sastra dan teater orang-orang Malioboro berbondong ke kampus UGM Bulaksumur di sana selain ada Ashadi Siregar juga Prof Bakdi Soemanto dan banyak teman yang lain. Menyampaikan kritik terhadap kebijakan pemerintahan Orba baca puisi di Taman Garuda diwawancarai Arswendo Atmowiloto, di DPRD di kejar-kejar polisi.
Ramai-ramai pentas dan nonton teater, musik di Senisono dan tak sedikit orang-orang Malioboro ini mendapat jodohnya di sini. Untuk kegiatan kepenyairan, bahkan pameran lukisan sering dilakukan di tembok-tembok SD Netral di bawah pohon asam Malioboro. Pameran dan diskusi seni rupa ramai-ramai di Gampingan, di sini banyak pelukis ASRI seperti Hardi. — Selama kurun waktu hampir 20 tahun itu, PSK sering diundang mengikuti berbagai kegiatan seni budaya di Taman Ismail Marzuki (TIM) maupun Teater Bulungan untuk berproses maupun berkreasi.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), 16 Mei 2011.

Tinggalkan komentar