LAKSANA CENDAWAN DI MUSIM HUJAN


Iwan Gunadi 

Seorang dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia heran ketika ber­kunjung ke Universitas Leiden, Belanda. Dia heran bukan lantaran koleksi kar­ya-karya sastra lama Indonesia di sana jauh lebih lengkap ketimbang di negeri­nya. Banyak kalangan, terutama para akademisi, sudah lama memaf­humi­nya. Kolonialisme, inilah yang kemudian sering muncul sebagai tumbal argumentasi.  

Tentu, bukan hal itu yang membuatnya heran. Mereka pun lebih lengkap mengoleksi karya-karya sastra mutakhir terbitan pelbagai komunitas sastra di Indonesia. Rupanya, itulah biang keladi keheranannya. Maklum, di almamaternya sendiri, dia merasa tak mudah menemukan karya sastra semacam itu. Padahal, pelbagai karya sastra itu baru diterbitkan beberapa tahun terakhir saja. Paling banter 10 tahun terakhir ketika dia menyambangi Universitas Leiden. 

Memang, sekitar 15 hingga 25 tahun terakhir, di negeri ini tumbuh begitu ba­nyak komunitas sastra laksana cendawan di musim hujan. Termasuk pelbagai komunitas sastra yang mencoba menghancurkan eksklusivitas sebutan sastrawan dan mengangkat karya-karya atau pelaku-pelaku sastra yang dianggap marginal.  Kalau kita pakai perumpamaan klise, fenomena ter­se­but bak cendawan di musim hujan.  

Untuk pembuktian secara sederhana suburnya pertumbuhan komunitas sastra itu selama rentang waktu tersebut, ambillah satu buku antologi puisi atau cerita pendek (cerpen) berskala nasional. Bacalah daftar biografi singkat mereka. Jangan terkejut bila ditemukan fakta bahwa sebagian besar dari mereka merupakan anggota atau pengurus suatu komunitas sastra atau seni. Bahkan, mungkin, mereka terlibat lebih di satu komunitas sastra atau komunitas seni.  Fakta semacam itu, misalnya, dapat ditemukan di dua buku Antologi Puisi Indonesia 1997 terbitan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Tangerang dan Angkasa di Bandung pada 1997. Tengok pula, misalnya, Sebuah Antologi Puisi Cyber: Graffiti Gratitude terbitan Yayasan Multimedia Sastra (Jakarta) dan Angkasa (Bandung) pada 2001 dengan cakupan yang melewati batas geografis Indonesia atau Bisikan Kata, Teriakan Kota: Antologi Puisi Temu Sastra Jakarta terbitan Dewan Kesenian Jakarta dan Bentang Budaya (Yogyakarta) pada 2003 dengan jangkauan penulis yang lebih terbatas, yakni Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Hal yang sebaliknya akan sulit ditemukan, misalnya, pada buku antologi puisi empat jilid suntingan Linus Suryadi A.G., Tonggak, dan Gema Tanah Air susunan H.B. Jassin. 

Kondisi tersebut tak lepas dari munculnya kesadaran kolektif yang lebih meluas pada 1980-an dan lebih-lebih pada 1990-an untuk tak lagi menempatkan Jakarta sebagai barometer standar estetika kesusastraan Indonesia. Cara pandang para sastrawan pada kedua periode tersebut  terhadap Taman Ismail Marzuki atau Majalah Horison, misalnya, berubah. Mereka tidak lagi melihat pusat-pusat semacam itu sebagai penguasa tunggal perkembangan kesusastraan Indonesia.  

Kesadaran tersebut memicu tumbuhnya makin banyak dewan kesenian di daerah-daerah di luar Jakarta yang menyorongkan kesempatan kepada banyak seniman, termasuk sastrawan, di masing-masing daerah untuk bertemu, lalu berkelompok. Bahkan, kesadaran yang sama tak hanya muncul pada para sastrawan yang sering berkumpul di dewan-dewan kesenian, tapi juga meluas ke persona-persona di tempat-tempat lain, seperti di pesantren, sekolah, kampus, stasiun radio, dan bahkan moda transportasi semacam bus kota dan kereta api. Mereka tak hanya berada di kota-kota besar, tapi juga menyebar ke kota-kota kecil. Mereka menjadi semacam kantong-kantong kesenian yang kecil-kecil yang kemudian dapat menjadi pusat-pusat kecil, yang diperkirakan akan menjadi basis dan karenanya lebih menentukan arah  perkembangan kesenian Indonesia. Pandangan dengan acuan posmodernisme ini mulai terasa menguat sejak Nirwan Dewanto memaparkannya di Kongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta pada 1991. 

Pemetaan yang dilakukan Komunitas Sas­tra Indonesia (KSI) untuk Litbang Harian Kompas saja berhasil me­ngum­pul­kan informasi dari 54 komunitas sastra yang tumbuh dan atau masih aktif di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) pada 1997. Dari jumlah tersebut, yang berhasil dipetakan ada 46 komunitas sastra[3]. Jumlah tersebut saja melebihi jumlah 35 organisasi yang mengikuti Konferensi Karyawan Pengarang se-Indonesia (KKPI) yang digelar di Jakarta pada awal Maret 1964.[4] Artinya, dalam 33 tahun, jumlah komunitas sastra di wilayah yang lebih sempit sudah melebihi jumlah komunitas di wilayah yang jauh lebih luas, walau mungkin di wilayah yang lebih luas tersebut masih banyak komunitas sastra yang tidak turut acara tersebut.  

Kalau wilayahnya kita perluas sampai seluruh Indonesia dengan ren­tang waktu sama (1997), saya yakin, jumlahnya bisa ratusan atau bahkan lebih. Apalagi jika rentang waktunya diperpanjang melebihi tahun tersebut. Melani Budianta, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, misalnya, pada diskusi “Mencermati Sastra Subkultur Kita” yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia di Jakarta, 31 Mei 2001, memperkirakan bahwa pada saat itu jumlah komunitas sastra di Indonesia lebih dari 200 dan 75 di antaranya berada di Jakarta. Jumlah tersebut pun belum termasuk komunitas sastra yang dibentuk di kampus-kampus perguruan tinggi.[5]  

Kalau rentang waktu untuk taksiran Melani diperpanjang ke depan hingga 2007, misalnya, saya yakin, jumlahnya jauh dari angka itu. Salah satu asumsinya, misal­nya, tumbuhnya ratusan media massa sejak 1998 setelah Menteri Penerangan Kabinet Reformasi Pembangunan pimpinan Presiden Baharuddin Jusuf (B.J.) Habibie, M. Yunus Yosfiah, membuka keran kebebasan penerbitan media massa tentu turut merangsang tumbuhnya banyak komunitas sastra. Sebab, sebagian dari media massa itu pun menampung karya-karya sastra, terutama puisi dan cerita pendek, yang tentu membutuhkan respons dari para sastrawan, termasuk yang tumbuh dan bergelut di pelbagai komunitas sastra itu. 

Krisis moneter (krismon) sejak medio 1997 yang memicu kelahiran gerakan reformasi memurukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Banyak bank ditutup dan banyak perusahaan di sektor riil bangkrut karena tak lagi mendapat kucuran kredit dari bank. Kenyataan tersebut berbuntut pada banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka pengangguran melonjak. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika merosot tajam hingga sekitar Rp17.000 per US$1 pada awal 1998. Harga-harga melambung melesatkan inflasi. Daya beli melorot. Banyak orang melakukan apa saja supaya bisa makan dan melangsungkan hidup. Salah satu pilihan adalah mengamen di kendaraan umum, seperti bus kota dan kereta api. Mereka bukan hanya mengamen lagu alias menyanyi, melainkan juga membacakan puisi dan terkadang cerpen. Booming pembacaan puisi di kendaraan umum pun meletus, sekurangnya di Jabotabek. Sejumlah puisi dari penyair terkenal dibacakan mereka. Ada sedikit puisi yang bukan karya penyair terkenal diperdengarkan mereka. Sejumlah puisi yang diakui sebagai ciptaan mereka atau dari kalangan mereka sendiri juga lebih sering terdengar. Antarmereka berkomunikasi dan komunitas sastra di antara para pengamen puisi pun terbentuk. Ini tentu makin menambah deret panjang komunitas sastra. 

Belum lagi kesempatan yang nyaris tanpa batas yang disediakan situs-situs sastra di dunia maya alias internet yang mulai tumbuh sebelum krisis moneter pada pertengahan 1997. Tak setiap karya sastra dapat lolos dari penyaringan redaktur media massa cetak. Tapi, tidak demikian dengan karya sastra yang dikirim ke situs-situs sastra. Bahkan, dengan mudah, setiap orang atau setiap kelompok dapat membuat situs sastra sendiri. Artinya, setelah karya sastra dibikin, orang yang punya situs sastra sendiri dapat segera memampangkannya. Apa pun isinya, mereka tak perlu takut dibredel. Jangankan situs di dunia maya, banyak orang pun bisa menulis apa saja di media massa cetak tanpa perlu waswas diberangus. Bahkan, dunia maya kemudian tak hanya menjadi wadah untuk menyosialisasikan karya sastra, tapi juga menjadi wadah untuk saling berinteraksi: mulai dari berdiskusi, berdebat, bergunjing, tukar informasi, apresiasi interaktif, atau sekadar berkenalan di antara orang-orang yang menyenangi, meminati, dan atau memahami karya sastra. Pesertanya memang bisa siapa saja. Tapi, perkembangan selama ini menunjukkan bahwa peserta aktif itu berputar di antara orang-orang yang itu-itu juga.  

Sejak saat itulah, komunitas sastra hadir di sana tanpa ada kungkungan ruang atau bahkan waktu, baik dengan kesadaran komunitas maupun tidak. Artinya, ada sejumlah orang yang menjadikan internet sebagai wadah ekspresi semata yang tak berbeda dengan wadah ekspresi lain, semisal media cetak. Tapi, ada juga sejumlah orang lain yang menjadikannya bukan semata sebagai wadah ekspresi, tapi mengidentifikasinya sebagai unsur pembeda diri dan kelompoknya. Dari kelompok yang terakhir ini, kemudian ada yang menyimpan pembeda itu hanya di dalam hati dan ada pula yang kemudian mengonkretkannya dengan membentuk sekutu atau organisasi, baik formal maupun informal. Sejak itulah, komunitas-komunitas sastra di dunia maya, yang kemudian ditengarai sebagai komunitas sibersastra, bermunculan memperkaya ragam komunitas sastra.  

Kalau kita sepakat dengan asumsi bahwa komunitas teater, komunitas seni secara umum, atau komunitas nonseni tak terlepas atau tak jarang juga melakukan ak­tivitas sastra, jumlah “komunitas sastra” tentu lebih banyak lagi. Maklum, jumlah aktivitas sastra seolah tak pernah menyusut. Penyelenggaranya tentu tak hanya komunitas sastra, tapi juga komunitas seni yang lain atau bahkan komunitas nonseni yang punya perhatian atau minat terhadap sastra. Apalagi, tak sedikit pekerja sastra yang juga berteater, berseni rupa, dan atau menggeluti atau sekurangnya meminati cabang kesenian lain ataupun sebaliknya, tak sedikit orang di luar pekerja sastra menggeluti atau sekurangnya meminati sastra. Kenyataan tersebut juga kembali menambah deret panjang “komunitas sastra”. Kalau ingin bukti, tengok saja buku Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000, misalnya. Dari 3.869 komunitas seni budaya di Indonesia yang berhasil dicacat hingga 1999[6],  komunitas yang melakukan aktivitas sastra melebihi angka taksiran Melani. Mereka bukan hanya komunitas sastra, tapi komunitas cabang kesenian yang lain, komunitas seni secara umum, atau bahkan komunitas budaya.  

Data yang mencengangkan dapat dilihat pada hasil Susenas Model 2003 yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS)—sekarang, namanya Badan Pusat Statistik (BPS). Selama 1993-2003, BPS mencatat keberadaan 89.658 organisasi kesenian dari 26 provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut meliputi organsiasi kesenian di bidang musik, seni tari, seni rupa, karawitan, pedalangan, teater, dan sastra. Organisasi kesenian di bidang sastra mencapai 4.699 atau 5,24% dari jumlah total organisasi kesenian itu. Lima besar provinsi pemilik organisasi kesenian di bidang kesusastraan adalah Jawa Tengah (2.419), Jawa Timur (512), Sumatra Barat (472), Daerah Istimewa Yogyakarta (396), Bali (312), dan Bengkulu (232). Sejumlah provinsi hanya memiliki paling banyak empat organisasi kesenian di bidang sastra. Mereka adalah Sulawesi Utara (4), Sumatra Utara (3), Jambi (3), Irian Jaya (3), Sulawesi Tengah (2), Sulawesi Tenggara (2), dan Maluku (1). Bahkan, data BPS itu tak menyebutkan angka untuk Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan. Apakah hal itu berarti bahwa tak ada organisasi kesenian di bidang sastra di kedua provinsi tersebut? Tak dapat dipastikan sebagaimana tak dapat dipastikan pula apa yang dimaksud dengan organisasi kesenian pada sensus nasional tersebut.[7]  

Kalau rentang waktunya diperpanjang hingga jauh ke belakang, misalnya sejak Chairil An­war dan kawan-kawan menggelindingkan Gelanggang Seniman Merdeka pada 1949, kita tentu akan menemukan deret panjang komunitas sastra atau komunitas seni atau nonseni yang meminati sastra. Kalau mau dilacak lebih jauh lagi, tentu saja cikal-bakal komunitas sastra atau ko­mu­nitas seni secara umum tak berhenti sampai pada upaya Chairil Anwar dan sejumlah temannya itu. Kita tentu dapat menduga, apa yang ditan­dai sebagai Angkatan Pujangga Baru dan Angkatan Balai Pustaka tak mung­kin muncul tanpa adanya dukungan komunitas sastra atau komunitas seni, wa­lau mungkin kita belum pernah mendengar bahwa pada saat itu ada prok­lamasi kelahiran suatu komunitas sastra atau komunitas seni lengkap dengan nama dan orientasi perjuangannya. Demikian  juga pada era kerajaan-kerajaan, kita pernah, kadang-kadang, atau bahkan sering mendengar atau membaca dongeng, mitos, atau fakta sejarah bahwa para raja memiliki pujangga yang menulis berdasarkan keinginan raja. Artinya, di keraton pun, tanpa ada dukungan komunitas sastra, perangkat kerajaan itu tak akan bertahan lama. Belum lagi tradisi pembacaan karya sastra di hadapan khalayak lazim digelar sejak dulu. Jadi, komunitas sastra sesungguhnya bukan fenomena baru. Kalau begitu, bagaimana persisnya runtutan sejarah komunitas sastra di negeri ini? Apa sesungguhnya komunitas sastra itu? Apa tujuan kehadiran mereka? Bagaimana bentuk organisasinya? Siapa saja anggotanya? Apa saja kegiatannya? Bagaimana pembiayaan kegiatannya?  

Nah, dalam deretan panjang komunitas sastra tadi, banyak sastrawan berkarya. Me­reka begitu bergairah menghasilkan karya sastra, terutama puisi. Bah­kan, saking banyaknya, ada yang mengatakan bahwa kesusastraan Indonesia se­dang mengalami inflasi penyair dan booming puisi. “Indonesia sedang meng­alami banjir puisi!” tandas Suryadi[8] dalam sebuah esainya. Karena banyak orang menciptakan puisi, predikat “penyair” pun disandang banyak orang. Boleh dikatakan, puisi, penyair, dan komunitas sastra mengalami booming serempak selama 1990-an. Booming yang muncul lantaran adanya keterkaitan kuat di antara ketiganya. Pemetaan yang dilakukan KSI[9] tadi menyebutkan, 20 komunitas sastra di Jabotabek sa­ja telah menerbitkan sekitar 140 buku sastra atau terbitan berkala sejak awal 1990-an hingga 1998. Jumlah itu belum termasuk penerbitan yang dilakukan secara pribadi. Padahal, penerbitan jenis terakhir ini lebih bergairah. Ia juga belum termasuk karya rekam audio dan audio-visual. Tapi, bagaimana penyebaran buku-buku itu? Apakah kegiatan komunitas sastra hanya menerbitkan buku? Apakah karya sastra mereka berbeda dengan karya sastra yang dihasilkan pekerja sastra yang tidak terlibat dalam komunitas sastra? Tegasnya, adakah sastra komunitas itu? 

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang merangsang kehadiran buku ini. Saya akui, dalam cakupan yang lebih sempit, pertanyaan-pertanyaan seperti itu pernah dijawab oleh pemetaan yang dilakukan KSI tadi. Tapi, jawaban-jawaban itu hanya berlaku untuk komunitas-komunitas sastra di Jabotabek. Tidak untuk fenomena yang menasional. Jawaban-jawaban itu pun belum mengakomodasi perkembangan-perkembangan setelah pemetaan itu dilakukan, seperti komunitas sibersastra. Nah, buku ini mencoba meluaskan cakupan sekaligus menindaklanjuti atau melengkapi jawaban-jawaban yang belum diberikan pemetaan itu.


[1] Hal ini pernah ditulis sendiri oleh Suryadi di Rubrik “Budaya” Harian Media Indonesia (Jakarta) edisi Minggu, tapi saya lupa persisnya.

[2] Nirwan Dewanto, “Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991”, pidato utama pada Kongres Kebudayaan 1991, Jakarta, 28 Oktober-1 November 1991; Majalah Prisma (Jakarta) edisi Oktober 1991 pun memuatnya. Terakhir, tulisan tersebut dibukukan dalam Nirwan Dewanto, Senjakala Kebudayaan (Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 13-53.

[3] Melani Budianta dan Iwan Gunadi (penyunting), Pemetaan Komunitas Sastra di Jakarta, Bogor, Tange­rang, dan Bekasi, Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia untuk Litbang Harian Kompas, 1998, halaman 15.

[4] D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, Prahara Budaya: Kilas-Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk. (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah (Bandung: Penerbit Mizan, cetakan kedua, 1995), hlm. 49-50.

[5] “Sastra Subkultur Kekurangan Pengarang”, berita pada Harian Kompas (Jakarta), 1 Juni 2001.

[6] Sapardi Djoko Damono (editor), Direktori Seni dan Budaya Indonesia 2000 (Surakarta: Yayasan Kelola, 2000), hlm. iii.

[7]  Sebab, data yang dikutip dalam paragraf ini hanya berupa tabel tanpa keterangan yang diakses dari situs resmi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, bukan dari situs resmi BPS. Pelacakan di situs resmi BPS tak berhasil menemukan data lengkap Susenas Model 2003. Tampaknya, sensus nasional dengan tipe seperti itu tak dilakukan secara rutin. Sebab, pada Susenas 2006 yang dapat diakses dari stus resmi BPS, data organisasi kesenian itu tak tercantum.

[8] Suryadi, “’Booming’ Puisi Indonesia” dalam Harian Media Indonesia (Jakarta), 15 Juni 1997.

[9] Melani Budianta dan Iwan Gunadi (penyunting), ibid., halaman 37-38.

5 komentar di “LAKSANA CENDAWAN DI MUSIM HUJAN

    • Maaf, blog ini memang sempat tak terurus. Polemik tersebut masih akan kami lanjutkan pendokumentasiannya karena memang belum selesai. Masih banyak naskah yang belum sempat dicantumkan.

Tinggalkan komentar