H.B. JASSIN DAN DOKUMENTASI SASTRA INDONESIA


Tumbuh dan berkembangnya sastra Indonesia pada satu sisi, tidak lepas dari peran H.B. Jassin, yang pada zamannya menempatkan diri sebagai kritikus sastra. Apa yang ditulis, H.B. Jassin saat memberikan ulasan terhadap apa yang telah dibacanya itu, sebagaimana dikatakan novelis Mochtar Lubis dalam buku H.B. Jassin 70 Tahun (1987) tidak membunuh, melainkan memberikan motivasi. Tujuannya adalah, agar di kemudian hari, sastrawan yang diulas karyanya itu bisa menulis lebih baik lagi.

Baik H.B. Jassin maupun Mochtar Lubis, keduanya telah dipanggil Allah SWT. Keduanya, pada sisi yang lain, telah pula memberikan sumbangan yang cukup berarti bagi pertumbuhan moral dan intelektual di negeri ini. Paling tidak, lewat novel ataupun sejumlah esai yang ditulisnya, Mochtar Lubis, telah memberikan penyadaran kepada bangsa dan negara ini agar jangan segan-segan melawan ketidakadilan, termasuk melawan korupsi yang hingga kini wabahnya semakin menjadi-jadi.

Sedangkan H.B. Jassin, selain meninggalkan sejumlah buku esai yang ditulisnya, telah pula mewariskan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, yang hingga kini keberadaannya masih terus dimanfaatkan, baik oleh para pelajar, mahasiswa, ataupun para peneliti asing yang datang ke Indonesia untuk mendalami apa dan bagaimana sastra Indonesia dari zaman ke zamannya. Pusat dokumentasi sastra tersebut berlokasi di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang peresmiannya dilakukan oleh Gubernur DKI Jaya, Ali Sadikin pada 30 Mei 1977.

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, yang juga dikenal sebagai penyair terkemuka saat ini, dalam percakapan singkat di Komunitas Salihara, tempo hari mengatakan, apa yang dikerjakan H.B. Jassin selama ini tak bisa dipandang sebelah mata. Ketekunannya merawat taman sastra Indonesia pada zamannya, telah banyak melahirkan sastrawan. Salah seorang sastrawan, yang mendapatkan perhatian serius dari H.B. Jassin adalah Chairil Anwar. Selain itu, tentu saja berdirinya PDS H.B. Jassin, layak didukung oleh berbagai pihak. Kepentingannya bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk hari mendatang.

Berkait dengan hal tersebut di atas, percakapannya dengan penulis, lewat jejaring sosial Facebook (10/6), kritikus sastra Maman S. Mahayana, yang kini menjadi dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea, me-ngatakan, ketika H.B. Jassin masih hidup, ia setiap hari mengkliping semua tulisan apa pun yang berkaitan dengan sastra. Koran-koran atau majalah yang dikirim ke PDS, diperiksa satu-satu. Jika ada tulisan yang berkaitan dengan sastra, ia akan menandainya, dan kemudian mengkliping tulisan itu. Termasuk juga catatan apa pun yang dilakukan sastrawan.

“Sebagai contoh, di PDS H.B. Jassin, masih tersimpan catatan Chairil Anwar yang ditulis pada bekas bungkus rokok. Isinya, Chairil Anwar menya-takan bahwa ia datang ke rumah Pak Jassin, tetapi tidak ada orang. Oleh karena itu, ia berterima kasih karena telah menghabiskan makanan di lemari Pak Jassin dan sekaligus memberi tahu bahwa Chairil meminjam salah satu buku koleksi Pak Jassin. Itu catatan tidak penting. Akan tetapi Pak Jassin menyimpannya. Bukankah sekarang catatan itu menjadi berharga dan kita sekarang tahu, bahwa Chairil memperlakukan rumah Pak Jassin seperti rumahnya sendiri,” ujar Maman.

Sekarang, menurut Maman lebih lanjut, PDS H.B. Jassin lebih berfungsi sebagai perpustakaan sastra. Sebagai pusat dokumentasi sastra (Indonesia) memang PDS H.B. Jassin paling lengkap dan khusus. “Sayang, kelebihan itu tidak diikuti oleh komitmen serius para pegawainya. Misalnya, bagaimana PDS H.B. Jassin proaktif mengirimi semacam surat pemberitahuan kepada sastrawan dan dewan kesenian di seluruh Indonesia agar me-ngirimkan karya-karyanya. Jika tidak bisa membeli, minimal, mencatatkan nama dan data publikasi supaya dapat dicatat dan didokumentasikan di PDS H.B. Jassin. Begitu juga, seharusnya PDS H.B. Jassin mengirimi surat ke perguruan tinggi yang ada fakultas sastranya agar mengirimkan data para penulis skripsi. Dengan demikian, akan diketahui, karya siapa saja yang pernah diteliti atau dijadikan skripsi mahasiswa. Meskipun begitu, usaha PDS H.B. Jassin sekarang untuk selalu welcome, terbuka untuk setiap peluncuran atau diskusi buku, tanpa dipungut uang sewa tempat dan hanya sewa kursi dan biaya seperlunya, merupakan sumbangan yang berharga bagi penyemarakan kehidupan sastra. Itu hal positif yang dilakukan PDS H.B. Jassin. Juga usahanya mendatangkan sastrawan jika ada tamu dari sekolah atau perguruan tinggi supaya ada dialog antara sastrawan dan pelajar atau mahasiswa merupakan hal yang bagus,” ucap Maman S. Mahayana, yang juga dikenal sebagai dosen di Jurusan Sastra Indonesia, di Universitas Indonesia (UI) Depok, Jawa Barat.

Tentang PDS H.B. Jassin dewasa ini sering dijadikan tempat peluncuran buku oleh para sastrawan dari berbagai kota di Indonesia, memang tidak salah. Salah satu contoh, penyair Susy Ayu pada 19 Juni 2010 meluncurkan buku puisi Rahim Kata-kata dengan pembicara penyair Eka Budianta. Antologi puisi tersebut merupakan antologi puisi pertama yang ditulis oleh Susy Ayu. Sebelumnya, novelis sekaligus cerpenis Kurnia Effendi dan kawan-kawan meluncurkan antologi cerita pendek Tukang Bunga dan Burung Gagak di tempat yang sama.

Dengan adanya PDS H.B. Jassin, banyak sastrawan yang merasa beruntung untuk mendokumentasikan apa yang telah ditulisnya itu di tempat tersebut. Apa sebab? Karena yang didokumentasikan oleh PDS H.B. Jassin bukan hanya berupa buku yang sudah terbit, tetapi yang berupa manuskrip, klipingan koran, dan bahkan surat-surat pribadi pun didokumentasikannya. Sejumlah majalah sastra yang kini tidak terbit lagi, seperti Kisah dan Zenith, ada di sana. Di Bandung, salah seorang kritikus sastra yang sering memanfaatkan PDS H.B. Jassin adalah Jakob Sumardjo.

Pada bagian lain, Maman S. Mahayana, mengungkapkan, jasa penting almarhum H.B. Jassin, yang meninggal dunia pada 11 Maret 2000 lalu, bagi bangsa dan negara Indonesia selain mendokumentasikan karya-karya sastrawan Indonesia khususnya, dan luar negeri pada umumnya, adalah kedekatannya dengan sejumlah besar sastrawan Indonesia memungkinkan H.B. Jassin mengenal secara pribadi, melakukan komunikasi, dan memperoleh kepercayaan besar dari hampir semua sastrawan Indonesia. Di samping itu, belum banyaknya para pengulas karya sastra menjadikan H.B. Jassin seolah-olah satu-satunya kritikus Indonesia terpercaya pada zamannya.

“Ketekunan dan kecintaan H.B. Jassin menjadikan tulisan Jassin, seperti yang dapat kita baca pada Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esei, cenderung apresiatif. Itulah yang menyebabkan banyak sastrawan Indonesia yang berharap agar karya-karyanya dapat diulas H.B. Jassin. Oleh karena itu, ketika bermunculan kritikus lain, seperti M.S. Hutagalung, S. Effendi, M. Saleh Saad, atau Boen S. Oemarjati, nama H.B. Jassin yang telanjur menjulang tinggi. Bahkan ketika muncul kritik aliran Rawamangun, di kala-ngan sastrawan, nama H.B. Jassin telanjur begitu besar. Maka pengaruh Kritik Aliran Rawamangun cenderung ber-kisar di kalangan dunia akademik. Kritik apresiatif model Jassin, sayangnya tidak secara gencar diikuti oleh kaum akademisi. Oleh karena itu, posisi Jassin tetap seperti tak tergantikan,” ujar Maman menjelaskan.

Namun demikian, menurut Maman lebih lanjut, sekarang tentu saja problemnya sudah berbeda dengan zaman H.B. Jassin. Pertama, sentralitas Jakarta sudah tidak berlaku lagi. Kedua, kritik apresiatif yang muncul di berbagai surat kabar dan majalah, juga tidak lagi terpusat di media massa Jakarta. Ketiga, berbagai pendekatan dan model kritik sudah jauh lebih canggih dan beragam. Bahwa nama Jassin sampai sekarang tetap dianggap sebagai kritikus berwibawa, itu lebih disebabkan oleh pemitosan yang dilakukan sastrawan sendiri, mengingat dunia akademik seperti asyik masyuk dengan kritik akademis dan tidak mau coba lebih rajin memperkenalkan kritik apresiatif.

“Jika kita cermati semua tulisan Jassin yang berupa kritik, sesungguhnya H.B. Jassin tak menyodorkan model kritik yang khas dan canggih. Jassin sama sekali tidak coba melandasi kritiknya berdasarkan teori atau pendekatan yang kemudian menjadi konsep teoretik, sebagaimana yang dilakukan Aliran Rawamangun, atau Dami N. Toda pada karya-karya Iwan Simatupang atau Abdul Hadi W.M. yang coba merumuskan konsep estetik Angkatan ’70. Sekali lagi, saya tegaskan: Kritik Jassin adalah kritik apresiatif, seperti yang terjadi di berbagai surat kabar dan majalah sekarang. Jadi, jika ada anggapan kritik sastra Indonesia sekarang ini seperti mengalami kemadekan, pandangan itu selain lantaran tidak tahu konsep kritik, juga tidak membaca secara cermat kritik-kritik Jassin dan coba membandingkannya dengan kritik yang berkembang di lingkungan kampus. Begitulah, jasa terbesar Jassin sesungguhnya bukan pada kritik, melainkan pada usahanya melakukan pendokumentasian karya,” ucap Maman, yang saat ini tengah merampungkan kumpulan esainya tentang puisi Indonesia modern.

Sementara itu, penyair, cerpenis, yang juga dikenal sebagai jurnalis, Kurniawan Junaedhie, mengatakan, kehadiran H.B. Jassin pada zamannya sangat penting, apalagi pada saat itu belum ada jaringan internet. Data-data yang dikumpulkan H.B. Jassin tentang sastra Indonesia, bisa kita nikmati sekarang antara lain berkat jasa H.B. Jassin.

“Ini mungkin guyon, ’kesalahan’ H.B. Jassin, sebagai kritikus dan paus sastra kita, adalah menobatkan Chairil Anwar sebagai tokoh Angkatan ’45. Ini yang mengakibatkan citra penyair jadi harus seperti Chairil Anwar sampai sekarang, yakni hidup bohemian, gondrong, acak-acakan dan sebagainya. Kalau saja H.B. Jassin memilih tokoh lain, mungkin saja, citra kepenyairan kita akan lain ceritanya,” ujar Kurniawan sambil tertawa ngakak. Tentu saja, keunggulan Chairil Anwar menulis puisi tidak dibantah Kurniawan. (Soni Farid Maulana/”PR”)

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Pikiran Rakyat (Bandung), 18 Juni 2010.

Tinggalkan komentar